Nama :
Chandra
NPM :
11211609
Kelas : 2
EA25
BAB I
Latar
Belakang Masalah
Konsep
ekonomi kerakyatan (demokrasi ekonomi) sudah lama dipikirkan dan dikembangkan
secara khusus oleh pakar ekonomi di dalam maupun di luar negeri dengan berbagai
varian pengertian dan ciri-cirinya (Douglas (1920). Salah satu yang
memikirkan konsep ekonomi kerakyatan adalah M. Hatta yaitu sejak
1930 kemudian dirumuskan ke dalam konstitusi (Pasal 33 UUD
1945). Menurut Pasal 33 UUD 1945, ekonomi kerakyatan adalah sebuah
sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam
bidang ekonomi.
Tiga prinsip dasar ekonomi kerakyatan adalah sebagai
berikut:
1. Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan
2. Cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
Negara
3. Bumi, air, dan segala
kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
BAB II
PEMBAHASAN
Sistem Ekonomi Kerakyatan adalah Sistem Ekonomi
Nasional Indonesia yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral
Pancasila, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat.
Syarat
mutlak berjalannya sistem ekonomi kerakyatan yang berkeadilan sosial
· berdaulat
di bidang politik
· mandiri
di bidang ekonomi
· berkepribadian
di bidang budaya
Yang
mendasari paradigma pembangunan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan sosial
· penyegaran
nasionalisme ekonomi melawan segala bentuk ketidakadilan sistem dan kebijakan
ekonomi
· pendekatan
pembangunan berkelanjutan yang multidisipliner dan multikultural
· pengkajian
ulang pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu ekonomi dan sosial di sekolah-sekolah
dan perguruan tinggi
“Ekonomi
Rakyat oleh sistem monopoli disempitkan, sama sekali didesak dan dipadamkan
(Soekarno, Indonesia Menggugat, 1930: 31)”
Tujuan
yang diharapkan dari penerapan Sistem Ekonomi Kerakyatan
· Membangun
Indonesia yang berdikiari secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan
berkepribadian yang berkebudayaan
· Mendorong
pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan
· Mendorong
pemerataan pendapatan rakyat
· Meningkatkan
efisiensi perekonomian secara nasional
Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang
mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat dalam proses pembangunan. Sistem
ekonomi kerakyatan mencakup administrasi pembangunan nasional mulai dari sistem
perencanaan hingga pemantauan dan pelaporan. Sesungguhnya ekonomi kerakyatan
adalah demokrasi ekonomi yang dikembangkan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
khususnya Pasal 33 beserta penjelasannya yang menyatakan “Dalam pasal 33
tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua
di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang per orang. Sebab itu
perekonomian disusun sebagaiusaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Bangun
yang sesuai itu adalah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi,
kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi
Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh Negara.
Ruang
Ekonomi Kerakyatan Indonesia
Saat mendapat tugas untuk mebahas
konsep ekonomi kerakyatan dalam kaitan dengan makalah Prof. Mubyarto tentang
“Ekonomi Kerakyatan dalam Era Globalisasi dan Otonomi Daerah”, saya mencoba
untuk menangkap (baca: memahami) makna kata ‘rakyat’ secara utuh. Akhirnya saya
sampai pada pemahaman bahwa rakyat sendiri bukanlah sesuatu obyek yang bisa
‘ditangkap’ untuk diamati secara visual, khususnya dalam kaitan dengan
pembangunan ekonomi. Kata rakyat merupakan suatu konsep yang abstrak dan tidak
dapat di’tangkap’ untuk diamati perubahan visual ekonominya. Kata rakyat baru
bermakna secara visual jika yang diamati adalah individualitas dari rakyat
(Asy’arie, 2001). Ibarat kata ‘binatang’, kita tidak bisa menangkap binatang
untuk mengatakan gemuk atau kurus, kecuali binatang itu adalah misalnya seekor
tikus. Persoalannya ada begitu banyak obyek yang masuk dalam barisan binatang
(tikus, kucing, ular, dll.), sehingga kita harus jelas mengatakan binatang yang
mana yang bentuk visualnya gemuk atau kurus. Pertanyaan yang sama harus
dikenakan pada konsep ekonomi rakyat, yaitu ekonomi rakyat yang mana, siapa, di
mana dan berapa jumlahnya. Karena dalam dimensi ruang Indonesia semua orang
(Indonesia) berhak untuk menyandang predikat ‘rakyat’. Buruh tani, konglomerat,
koruptor pun berhak menyandang predikat ‘rakyat’. Sama seperti jika seekor
kucing digabungkan dengan 100 ekor tikus dalam satu ruang, maka semuanya
disebut binatang. Walaupun dalam perjalanannya seekor kucing dapat saja menelan
100 ekor tikus atas nama binatang.
Ilustrasi di atas saya sampaikan
untuk membuka ruang diskusi tetang ekonomi kerakyatan dalam perspektif yang
terarah dalam kerangka mengagas pikiran Prof. Mubyarto. Kita harus jelas
mengatakan rakyat yang mana yang seharusnya kita tempatkan dalam ruang ekonomi
kerakyatan Indonesia. Selanjutnya, bagaimana kita memperlakukan rakyat dimaksud
dan apakah perlakuan terhadapnya selama ini sudah benar. Atau apakah upaya
menggiring rakyat ke dalam ruang ekonomi kerakyatan selama ini sudah berada
dalam koridor yang benar.
Dalam konteks ilmu sosial, kata
rakyat terdiri dari satuan individu pada umumnya atau jenis manusia kebanyakan.
Kalau diterjemahkan dalam konteks ilmu ekonomi, maka rakyat adalah kumpulan
kebanyakan individu dengan ragaan ekonomi yang relatif sama. Dainy Tara (2001)
membuat perbedaan yang tegas antara ‘ekonomi rakyat’ dengan ‘ekonomi
kerakyatan’. Menurutnya, ekonomi rakyat adalah satuan (usaha) yang mendominasi
ragaan perekonomian rakyat. Sedangkan ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata
sifat, yakni upaya memberdayakan (kelompok atau satuan) ekonomi yang
mendominasi struktur dunia usaha. Dalam ruang Indonesia, maka kata rakyat dalam
konteks ilmu ekonomi selayaknya diterjemahkan sebagai kesatuan besar individu
aktor ekonomi dengan jenis kegiatan usaha berskala kecil dalam permodalannya,
sarana teknologi produksi yang sederhana, menejemen usaha yang belum bersistem,
dan bentuk kepemilikan usaha secara pribadi. Karena kelompok usaha dengan
karakteristik seperti inilah yang mendominasi struktur dunia usaha di
Indonesia.
Ekonomi
Kerakyatan dan Sistem Ekonomi Pasar
Ekonomi rakyat tumbuh secara natural
karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh
tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya
mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia,
serta peluang pasar. Perlu dipahami bahwa dalam ruang ekonomi nasional pun
terdapat sejumlah aktor ekonomi (konglomerat) dengan bentuk usaha yang kontras
dengan apa yang diragakan oleh sebagian besar pelaku ekonomi rakyat. Memiliki modal
yang besar, mempunyai akses pasar yang luas, menguasai usaha dari hulu ke
hilir, menguasai teknologi produksi dan menejemen usaha modern. Kenapa mereka
tidak digolongkan juga dalam ekonomi kerakyatan?. Karena jumlahnya hanya
sedikit sehingga tidak merupakan representasi dari kondisi ekonomi rakyat yang
sebenarnya. Atau dengan kata lain, usaha ekonomi yang diragakan bernilai
ekstrim terhadap totalitas ekonomi nasional. Golongan yang kedua ini biasanya
(walaupun tidak semua) lebih banyak tumbuh karena mampu membangun partner usaha
yang baik dengan penguasa sehingga memperoleh berbagai bentuk kemudahan usaha
dan insentif serta proteksi bisnis. Mereka lahir dan berkembang dalam suatu
sistem ekonomi yang selama ini lebih menekankan pada peran negara yang dikukuhkan
(salah satunya) melalui pengontrolan perusahan swasta dengan rezim insentif
yang memihak serta membangun hubungan istimewa dengan pengusaha-pengusaha yang
besar yang melahirkan praktik-praktik anti persaingan.
Lahirnya sejumlah pengusaha besar
(konglomerat) yang bukan merupakan hasil derivasi dari kemampuan menejemen
bisnis yang baik menyebabkan fondasi ekonomi nasional yang dibangun berstruktur
rapuh terhadap persaingan pasar. Mereka tidak bisa diandalkan untuk menopang
perekonomian nasional dalam sistem ekonomi pasar. Padahal ekonomi pasar
diperlukan untuk menentukan harga yang tepat (price right) untuk menentukan
posisi tawar-menawar yang imbang. Saya perlu menggaris bawahi bahwa yang patut
mendapat kesalahan terhadap kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama regim
orde baru adalah implementasi kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang tidak
tepat dalam sistem ekonomi pasar, bukan ekonomi pasar itu sendiri. Dalam
pemahaman seperti ini, saya merasa kurang memiliki justifikasi empirik untuk mempertanyakan
kembali sistem ekonomi pasar, lalu mencari suatu sistem dan paradigma baru di
luar sistem ekonomi pasar untuk dirujuk dalam pembangunan ekonomi nasional.
Bagi saya dunia “pasar” Adam Smith adalah suatu dunia yang indah dan adil untuk
dibayangkan. Tapi sayangnya sangat sulit untuk diacu untuk mencapai
keseimbangan dalam tatanan perekonomian nasional. Karena konsep “pasar” yang
disodorkan oleh Adam Smit sesungguhnya tidak pernah ada dan tidak pernah akan
ada. Namun demikian tidak harus diartikan bahwa konsep pasar Adam Smith yang
relatif bersifat utopis ini harus diabaikan. Persepektif yang perlu dianut
adalah bahwa keindahan, keadilan dan keseimbangan yang dibangun melalui
mekanisme “pasar”nya Adam Smith adalah sesuatu yang harus diakui keberadaannya,
minimal telah dibuktikan melalui suatu review teoritis. Yang perlu dilakukan
adalah upaya untuk mendekati kondisi indah, adil, dan seimbang melalui berbagai
regulasi pemerintah sebagai wujud intervensi yang berimbang dan kontekstual.
Bukan sebaliknya membangun suatu format lain di luar “ekonomi pasar” untuk
diacu dalam pembangunan ekonomi nasional, yang keberhasilannya masih mendapat
tanda tanya besar atau minimal belum dapat dibuktikan melalui suatu kajian
teoritis-empiris.
Mari kita membedah lebih jauh
tentang konsep ekonomi kerakyatan. Pengalaman pembangunan ekonomi Indonesia
yang dijalankan berdasarkan mekanisme pasar sering tidak berjalan dengan baik,
khusunya sejak masa orde baru. Kegagalan pembangunan ekonomi yang diragakan
berdasarkan mekanisme pasar ini antara lain karena kegagalan pasar itu sendiri,
intervensi pemerintah yang tidak benar, tidak efektifnya pasar tersebut
berjalan, dan adanya pengaruh eksternal. Kemudian sejak sidang istimewa (SI)
1998, dihasilkan suatu TAP MPR mengenai Demokrasi Ekonomi, yang antara lain
berisikan tentang keberpihakan yang sangat kuat terhadap usaha kecil-menengah
serta koperasi. Keputusan politik ini sebenarnya menandai suatu babak baru
pembangunan ekonomi nasional dengan perspektif yang baru, di mana bangun
ekonomi yang mendominasi regaan struktur ekonomi nasional mendapat tempat
tersendiri. Komitmen pemerintah untuk mengurangi gap penguasaan aset ekonomi
antara sebagian besar pelaku ekonomi di tingkat rakyat dan sebagian kecil pengusaha
besar (konglomerat), perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Hasil yang
diharapkan adalah terciptanya struktur ekonomi yang berimbang antar pelaku
ekonomi dalam negeri, demi mengamankan pencapaian target pertumbuhan (growth)
(Gillis et al., 1987). Bahwa kegagalan kebijakan pembangunan ekonomi nasional
masa orde baru dengan keberpihakan yang berlebihan terhadap kelompok pengusaha
besar perlu diubah. Sudah saatnya dan cukup adil jika pengusaha kecil –menengah
dan bangun usaha koperasi mendapat kesempatan secara ekonomi untuk berkembang
sekaligus mengejar ketertinggalan yang selama ini mewarnai buruknya tampilan
struktur ekonomi nasional. Sekali lagi, komitmen politik pemerintah ini perlu
mendapat dukungan dari berbagai pihak. Hal yang masih kurang jelas dalam TAP
MPR dimaksud adalah apakah perspektif pembangunan nasional dengan keberpihakan
kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini masih dijalankan melalui mekanisme
pasar? Dalam arti apakah intervensi pemerintah dalam bentuk keberpihakan kepada
usaha kecil-menengah dan koperasi ini adalah benar-benar merupakan affirmative
action untuk memperbaiki distorsi pasar yang selama ini terjadi karena bentuk
campur tangan pemerintah dalam pasar yang tidak benar? Ataukah pemerintah mulai
ragu dengan bekerjanya mekanisme pasar itu sendiri sehingga berupaya untuk
meninggalkannya dan mencoba merujuk pada suatu mekanisme sistem ekonomi yang
baru ?. Nampaknya kita semua berada pada pilahan yang dilematis. Mau
meninggalkan mekanisme pasar dalam sistem ekonomi nasional, kita masih
ragu-ragu, karena pengalaman keberhasilan pembangunan ekonomi negara-negara
maju saat ini selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar. Mau merujuk pada
bekerja suatu mekanisme yang baru (apapun namanya), dalam prakteknya belum ada
satu negarapun yang cukup berpengalaman serta yang paling penting menunjukkan
keberhasilan nyata, bahkan kita sendiri belum berpengalaman (ibarat membeli
kucing dalam karung). Bukti keragu-raguan ini tercermin dalam TAP MPR hasil
sidang istimewa itu sendiri, dimana demokrasi ekonomi nasional tidak
semata-mata dijalankan dengan keberpihakan habis-habisan pada usaha
kecil-menengah dan koperasi, tapi perusahaan swasta besar dan BUMN tetap
mendapat tempat bahkan mempunyai peran yang sangat strategis.
Bagi saya, sebenarnya keragu-raguan
ini tidak perlu terjadi, jika kita semua jernih melihat dan jujur untuk
mengakui bahwa kegagalan-kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama ini
terjadi bukan disebabkan oleh karena ketidakmampuan mekanisme pasar mendukung
keberhasilan pembangunan ekonomi nasional, tetapi lebih disebabkan karena pasar
sendiri tidak diberi kesempatan untuk bekerja secara baik. Bentuk campur tangan
pemerintah (orde baru) yang seharusya diarahkan untuk menjamin bekerjanya
mekanisme pasar guna mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional,
ternyata dalam prakteknya lebih diarahkan pada keberpihakan yang berlebihan
pada pengusaha besar (konglomerat) dalam bentuk insentif maupun regim proteksi
yang ekstrim. Pengalaman pembangunan ekonomi nasional dengan kebijakan proteksi
bagi kelompok industri tertentu (yang diasumsikan sebagai infant industry) dan
diharapkan akan menjadi “lokomotif “ yang akan menarik gerbong ekonomi lainnya,
pada akhirnya bermuara padaincapability dan inefficiency dari industri yang bersangkutan
(contoh kebijakan pengembangan industri otomotif). Periode waktu yang telah
ditetapkan untuk berkembang menjadi suatu bisnis yang besar dalam skala dan
skop serta melibatkan sejumlah besar pelaku ekonomi di dalamnya, menjadi tidak
bermakna saat dihadapkan pada kenyataan bahwa bisnis yang bersangkutan masih
tetap berada pada level perkembangan “bayi”, karena dimanjakan oleh berbagai
insentif dan berbagai bentuk proteksi.
Saya juga kurang setuju dengan
pendapat bahwa mekanisme pasar tidak dapat menjalankan fungsi sosial dalam
pembangunan ekonomi nasional. Pendapat seperti ini juga tidak benar secara
absolut. Buktinya negara-negara maju yang selalu merujuk pada bekerjanya
mekanisme pasar secara baik, mampu menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan
ekonominya secara baik pula. Sudah menjadi pengetahuan yang luas bahwa
negara-negara maju (termasuk beberapa negara berkembang, seperti Singapura)
mempunyai suatu sistem social security jangka panjang (yang berfungsi secara
permanen) untuk membantu kelompok masyarakat yang inferior dalam kompetisi
memperoleh akses ekonomi. Justru negara-negara yang masih setengah hati
mendorong bekerjanya mekanisme pasar (seperti Indonesia) tidak mampu
menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonominya secara mantap. Sebenarnya
sudah banyak program jaminan sosial temporer semacam JPS di Indonesia, namun
pelaksanaannya masih jauh dari memuaskan, karena kurang mantapnya perencanaan,
terjadi banyak penyimpangan dalam implementasi, serta lemahnya pengawasan.
Fungsi sosial dapat berjalan dengan
baik dalam mekanisme pasar, jika ada intervensi pemerintah melalui perpajakan,
instrumen distribusi kekayaan dan pendapatan, sistem jaminan sosial, sistem
perburuhan, dsb. Ini yang namanyaaffirmative action yang terarah oleh pemerintah
dalam mekanisme pasar (Bandingkan dengan pendapat Anggito Abimanyu, 2000).
Jadi yang salah selama ini bukan
mekanisme pasar, tetapi kurang adanya affirmative action yang jelas oleh
pemerintah demi menjamin bekerjanya mekanisme pasar. Yang disebut dengan
affirmative action seharusnya lebih dutujukkan padadisadvantage group (sebagian
besar rakyat kecil), bukan sebaliknya pada konglomerat. Kalau begitu logikanya,
maka kurang ada justifikasi logis yang jelas untuk mengabaikan bekerjanya
mekanisme pasar dalam mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional.
Apalagi dengan merujuk pada suatu mekanisme sistem ekonomi yang baru. Ini sama
artinya dengan “sakit di kaki, kepala yang dipenggal”. Bagi saya, harganya
terlalu mahal bagi rakyat jika kita mencoba-coba dengan sesuatu yang tidak
pasti. Pada saat yang sama, rakyat sudah terlalu lama menunggu dengan penuh
pengorbanan, untuk melihat keberhasilan pembangunan ekonomi nasional yang dapat
dinikmati secara bersama.
Perlu dicatat, bahwa disamping obyek
keberpihakan selama pemerintah orde baru dalam kebijakan ekonomi nasionalnya
salah alamat, pemerintah sendiri kurang mempunyai acuan yang jelas tentang
kapan seharusnya phasing-out processdiintrodusir dalam tahapan intervensi, demi
mengkreasi bekerjanya mekanisme pasar dalam program pembangunan ekonomi
nasional. Akibatnya tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) terhadap obyek
keberpihakan (dalam mekanisme pasar) untuk mengambil peran sebagai lokomotif
keberhasilan pembangunan ekonomi nasional.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa
yang salah atau kurang sempurna dengan konsep ekonomi kerakyatan?. Sejak awal
saya katakan bahwa semua pihak perlu mendukung affirmative action policy pada
usaha kecil-menengah dan koperasi yang diambil oleh pemerintah sesuai dengan tuntutan
TAP MPR. Pembangunan harus dikembangkan dengan berbasiskan ekonomi domestik
(bila perlu pada daerah kabupaten/kota) dengan tingkat kemandirian yang tinggi,
kepercayaan diri dan kesetaraan, meluasnya kesempatan berusaha dan pendapatan,
partisipatif, adanya persaingan yang sehat, keterbukaan/demokratis, dan
pemerataan yang berkeadilan. Semua ini merupakan ciri-ciri dari Ekonomi
Kerakyatan yang kita tuju bersama (Prawirokusumo, 2001). Kita akan membahas
lebih jauh tentang kekurangan konsep ekonomi kerakyatan yang di dengungkan oleh
pemerintah pada sub-pokok bahasan di bawah ini.
Ekonomi
Kerakyatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
Perlu digarisbawahi bahwa ekonomi
kerakyatan tidak bisa hanya sekedar komitmen politik untuk merubah
kecenderungan dalam sistem ekonomi orde baru yang amat membela kaum pengusaha
besar khususnya para konglomerat. Perubahan itu hendaknya dilaksanakan dengan
benar-benar memberi perhatian utama kepada rakyat kecil lewat program-program
operasional yang nyata dan mampu merangsang kegiatan ekonomi produktif di
tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa kewirausahaan. Tidak dapat disangkal
bahwa membangun ekonomi kerakyatan membutuhkan adanya komitmen politik
(political will), tetapi menyamakan ekonomi kerakyatan dengan praktek membagi-bagi
uang kepada rakyat kecil (saya tidak membuat penilaian terhadap sistem JPS),
adalah sesuatu kekeliruan besar dalam perspektif ekonomi kerakyatan yang benar.
Praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil sangat tidak menguntungkan pihak
manapun, termasuk rakyat kecil sendiri (Bandingkan dengan pendapat Ignas
Kleden, 2000). Pendekatan seperti ini jelas sangat berbeda dengan apa yang
dimaksud dengan affirmative action. Aksi membagi-bagi uang secara tidak sadar
menyebabkan usaha kecil-menengah dan koperasi yang selama ini tidak berdaya
untuk bersaing dalam suatu mekanisme pasar, menjadi sangat tergantung pada aksi
dimaksud. Sebenarnya yang harus ada pada tangan obyek affirmative action adalah
kesempatan untuk berkembang dalam suatu mekanisme pasar yang sehat, bukan cash
money/cash material. Jika pemahaman ini tidak dibangun sejak awal, maka saya
khawatir cerita keberpihakan yang salah selama masa orde baru kembali akan
terulang. Tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) dalam ragaan bisnis usaha
kecil-menengah dan koperasi yang menjadi target affirmative action policy.
Bahkan sangat mungkin terjadi suatu proses yang bersifat counter-productive,
karena asumsi awal yang dianut adalah usaha kecil-menengah dan koperasi yang
merupakan ciri ekonomi kerakyatan Indonesia tumbuh secara natural karena adanya
sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya
insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri
usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar.
Modal dasar yang dimiliki inilah yang seharusnya ditumbuhkembangkan dalam suatu
mekanisme pasar yang sehat. Bukan sebaliknya ditiadakan dengan menciptakan
ketergantungan model baru pada kebijakan keberpihakan dimaksud.
Selanjutnya, pemerintah harus
mempunyai ancangan yang pasti tentang kapan seharusnya pemerintah mengurangi
bentuk campur tangan dalam affirmative action policynya, untuk mendorong
ekonomi kerakyatan berkembang secara sehat. Oleh karena itu, diperlukan adanya
kajian ekonomi yang akurat tentang timing dan process di mana pemerintah harus
mengurangi bentuk keberpihakannya pada usaha kecil-menengah dan koperasi dalam
pembangunan ekonomi rakyat. Isu ini perlu mendapat perhatian tersendiri, karena
sampai saat ini masih banyak pihak (di luar UKM dan Koperasi) yang memanfaatkan
momen keberpihakan pemerintah ini sebagai free-rider. Justru kelompok ini yang
enggan mendorong adanya proses phasing-out untuk mengkerasi mekanisme pasar
yang sehat dalam rangka mendorong keberhasilan program ekonomi kerakyatan. Kita
semua masih mengarahkan seluruh energi untuk mendukung program keberpihakan
pemerintah pada UKM dan koperasi sesuai dengan tuntutan TAP MPR. Tapi kita lupa
bahwa ada tahapan lainnya yang penting dalam program keberpihakan dimaksud,
yaitu phasing-out process yang harus pula dipersiapkan sejak awal. Kalau tidak,
maka sekali lagi kita akan mengulangi kegagalan yang sama seperti apa yang
terjadi selama masa pemerintahan orde baru.
KESIMPULAN
Ekonomi kerakyatan merupakan
kegiatan ekonomi yang dilaksanakan, dinikmatidan diawasi oleh rakyat. Bidang
kegiatan ekonomi kerakyatan meliputi sektor informal,usaha kecil pertanian, koperasi dan sebagainya. Pertumbuhan ekonomi
Indonesia yangcukup tinggi dan berlangsung cepat selama beberapa Pelita yang
lalu seiring denganmasih terdapatnya jumlah penduduk miskin,
menggambarkan kondisi ketimpangan hasil pembangunan
ekonomi. Peranan ekonomi kerakyatan selain sebagai penampung tenagakerja juga
sebagai sumber pendaptan masyarakat golongan menengah bawah. Berbagaikebutuhan
dasar atau kebutuhan pokok mampu dihasilkan oleh sektor pertanian sebagaiunit – unit usaha kecil dalam perekonomian Indonesia
menggambarkan kegiatanekonomi rakyat
yang selama ini masih belum mampu berkembang secara optimal.Pengembangan usaha kecil yang dipelopori oleh pemerintah
dilakukan melalui penciptaan iklim yang sesuai. Pembinaan diarahkan
dalam penanganan bidang produksi, pemasaran, peningkatan kualitas sumber
daya manusia dan teknologi.Pola kemitraan
usaha kecil termasuk didalamnya koperasi dapat dijalin denganusaha besar dan
menengah baik dari pihak swasta maupun BUMN. Terdapat berbagai bentuk
kemitraan usaha seperti bentuk-bentuk inti-plasma, dagang umum, sub-kontrak,waralaba dan sebagainya. Prinsip kemitraan yang paling
ideal adalah salingmenguntungkan
antara pihak – pihak yang melakukan kemitraan usaha. Keberhasilansuatu
kemitraan ditentukan oleh dua hal yaitu: tujuan yang ditetapkan dan perilaku
dari pihak –pihak yang melakukan
emitraan antara lain yang bersifat tidak ingin untungsendiri, percaya pada mitra usaha, perilaku timbal
balik, perilaku mampu menahan diriatau sabar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar