Jumat, 19 Desember 2014

contoh kasus utilitarianisme


NAMA            : CHANDRA
KELAS           : 4EA25
NPM               : 11211609

PT Freeport Indonesia (PTFI) merupakan perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.. PTFI menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas dan perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi di Kabupaten Mimika Provinsi Papua, Indonesia. Kami memasarkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak ke seluruh penjuru dunia.
PT Freeport Indonesia merupakan jenis perusahaan multinasional (MNC),yaitu perusahaan internasional atau transnasional yang berkantor pusat di satu negara tetapi kantor cabang di berbagai negara maju dan berkembang.

Contoh kasus pelanggaran etika yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia :
    Mogoknya hampir seluruh pekerja PT Freeport Indonesia (FI) tersebut disebabkan perbedaan indeks standar gaji yang diterapkan oleh manajemen pada operasional Freeport di seluruh dunia. Pekerja Freeport di Indonesia diketahui mendapatkan gaji lebih rendah daripada pekerja Freeport di negara lain untuk level jabatan yang sama. Gaji sekarang per jam USD 1,5–USD 3. Padahal, bandingan gaji di negara lain mencapai USD 15–USD 35 per jam. Sejauh ini, perundingannya masih menemui jalan buntu. Manajemen Freeport bersikeras menolak tuntutan pekerja, entah apa dasar pertimbangannya.
    Biaya CSR kepada sedikit rakyat Papua yang digembor-gemborkan itu pun tidak seberapa karena tidak mencapai 1 persen keuntungan bersih PT FI. Malah rakyat Papua membayar lebih mahal karena harus menanggung akibat berupa kerusakan alam serta punahnya habitat dan vegetasi Papua yang tidak ternilai itu. Biaya reklamasi tersebut tidak akan bisa ditanggung generasi Papua sampai tujuh turunan. Selain bertentangan dengan PP 76/2008 tentang Kewajiban Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, telah terjadi bukti paradoksal sikap Freeport (Davis, G.F., et.al., 2006).
    Kestabilan siklus operasional Freeport, diakui atau tidak, adalah barometer penting kestabilan politik koloni Papua. Induksi ekonomi yang terjadi dari berputarnya mesin anak korporasi raksasa Freeport-McMoran tersebut di kawasan Papua memiliki magnitude luar biasa terhadap pergerakan ekonomi kawasan, nasional, bahkan global.
Sebagai perusahaan berlabel MNC (multinational company) yang otomatis berkelas dunia, apalagi umumnya korporasi berasal dari AS, pekerja adalah bagian dari aset perusahaan. Menjaga hubungan baik dengan pekerja adalah suatu keharusan. Sebab, di situlah terjadi hubungan mutualisme satu dengan yang lain. Perusahaan membutuhkan dedikasi dan loyalitas agar produksi semakin baik, sementara pekerja membutuhkan komitmen manajemen dalam hal pemberian gaji yang layak.
Pemerintah dalam hal ini pantas malu. Sebab, hadirnya MNC di Indonesia terbukti tidak memberikan teladan untuk menghindari perselisihan soal normatif yang sangat mendasar. Kebijakan dengan memberikan diskresi luar biasa kepada PT FI, privilege berlebihan, ternyata sia-sia
Berkali-kali perjanjian kontrak karya dengan PT FI diperpanjang kendati bertentangan dengan UU Nomor 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan sudah diubah dengan UU Nomor 4/2009 tentang Minerba. Alasan yang dikemukakan hanya klasik, untuk menambah kocek negara. Padahal, tidak terbukti secara signifikan sumbangan PT FI benar-benar untuk negara. Kalimat yang lebih tepat, sebetulnya, sumbangan Freeport untuk negara Amerika, bukanIndonesia.
Justru negara ini tampak dibodohi luar biasa karena PT FI berizin penambangan tembaga, namun mendapat bahan mineral lain, seperti emas, perak, dan konon uranium. Bahan-bahan itu dibawa langsung ke luar negeri dan tidak mengalami pengolahan untuk meningkatkan value di Indonesia. Ironisnya, PT FI bahkan tidak listing di bursa pasar modal Indonesia, apalagi Freeport-McMoran sebagai induknya.
Keuntungan berlipat justru didapatkan oleh PT FI dengan hanya sedikit memberikan pajak PNBP kepada Indonesia atau sekadar PPh badan dan pekerja lokal serta beberapa tenaga kerja asing (TKA). Optimis penulis, karena PT FI memiliki pesawat dan lapangan terbang sendiri, jumlah pasti TKA itu tidak akan bisa diketahui oleh pihak imigrasi.
Sumber:

http://prasetyokoko.blogspot.com/2013/11/contoh-perusahaan-yang-menerapkan.html

ETIKA UTILITARIANISME DALAM BISNIS


NAMA            : CHANDRA
KELAS           : 4EA25
NPM               : 11211609

ETIKA UTILITARIANISME DALAM BISNIS
Utilitarianisme pertama kali dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Persoalan yang dihadapi oleh Bentham dan orang-orang sezamannya adalah bagaimana menilai baik buruknya suatu kebijaksanaan sosial politik, ekonomi, dan legal secara moral. Singkatnya, bagaimana menilai sebuah kebijaksanaan publik, yaitu kebijaksanaan yang punya dampak bagi kepentingan banyak orang, secara moral.
1.      Criteria dan Prinsip Etika Utilitarianisme
Criteria pertama adalah manfaat , yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat atau kegunaan tertentu. Jadi, kebijaksanaan atau tindakan yang baik adalah yang menghasilkan hal yang baik. Sebaliknya, kebijaksanaan atau tindakan yang tidak baik adalah yang mendatangkan kerugian tertentu.
Criteria kedua adalah manfaat terbesar, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat terbesar (atau dalam situasi tertentu lebih besar)dibandingkan dengan kebijaksanaan atau tindakan alternative lainnya.
Criteria ketiga adalah manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang, yaitu dengan kata lain suatu kebijaksanaan atau tindakan yang baik dan tepat dari segi etis menurut etika utilitarianisme adalah kebijaksanaan atau tindakan yang membawa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang atau sebaliknya membawa akibat merugikan yang sekecil mungkin bagi sedikit mungkin orang.
Secara padat ketiga prinsip itu dapat dirumuskan sebagai berikut: Bertindaklah sedemikian rupa sehingga tindakanmu itu mendatangkan keuntungan sebesar mungkin bagi sebanyak mungkin orang.
2.      Nilai Positif Etika Utilitarianisme
a)      Rasionalitas, prinsip moral yang diajukan oleh etika utilitarianisme ini tidak didasarkan pada aturan-aturan kaku yang mungkin tidak kita pahami dan yang tidak bisa kita persoalkan keabsahannya.
b)      Dalam kaitannya dengan itu, utilitarianisme sangant menghargai kebebasan setiap pelaku moral. Setiap orang dibiarkan bebas untuk mengambil keputusan dan bertindak dengan hanya memberinya ketiga criteria objektif dan rasional tadi.
c)      Universalitas, yaitu berbeda dengan etika teleologi lainnya yang terutama menekankan manfaat bagi diri sendiri atau kelompok sendiri, utilitarianisme justru mengutamakan manfaat atau akibat baik dari suatu tindakan bagi banyak orang.
3.      Utilitarianisme sebagai Proses dan sebagai Standar Penilaian
a)      Etika utilitarianisme dipakai sebagai proses untuk mengambil sebuah keputusan, kebijaksanaan, ataupun untuk bertindak. Dengan kata lain, etika utilitarianisme dipakai sebagai prosedur untuk mengambil keputusan. Ia menjadi sebuah metode untuk bisa mengambil keputusan yang tepat tentang tindakan atau kebijaksanaan yang akan dilakukan.
b)      Etika utilitarianisme juga dipakai sebagai standar penilaian bai tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan. Dalam hal ini, ketiga criteria di atas lalu benar-benar dipakai sebagai criteria untuk menilai apakah suatu tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan memang baik atau tidak. Yang paling pokok adalah menilai tindakan atau kebijaksanaan yang telah terjadi berdasarkan akibat atau konsekuensinya yaitu sejauh mana ia mendatangkan hasil terbaik bagi banyak orang.
4.      Analisis Keuntungan dan Kerugian
Pertama, keuntungan dan kerugian (cost and benefits) yang dianalisis jangan semata-mata dipusatkan pada keuntungan dan kerugian bagi perusahaan,  kendati benar bahwa ini sasaran akhir. Yang juga perlu mendapat perhatian adalah keuntungan dan kerugian bagi banyak pihak lain yang terkait dan berkepentingan, baik kelompok primer maupun sekunder. Jadi, dalam analisis ini perlu juga diperhatikan bagaimana daan sejauh mana suatu kebijaksanaan dan kegiatan bisnis suatu perusahaan  membawa akibat yang menguntungkan dan merugikan bagi kreditor, konsumen, pemosok, penyalur, karyawan, masyarakat luas, dan seterusnya. Ini berarti etika utilitarianisme sangat sejalan dengan apa yang telah kita bahas sebagai pendekatan stakeholder.
Kedua, seringkali terjadi bahwa analisis keuntungan dan kerugian ditempatkan dalam kerangka uang (satuan yang sangat mudah dikalkulasi). Yang juga perlu mendapat perhatian serius adalah bahwa keuntungan dan kerugian disini tidak hanya menyangkut aspek financial, melainkan juga aspek-aspek moral; hak dan kepentingan konsimen, hak karyawan, kepuasan konsumen, dsb. Jadi, dalam kerangka klasik etika utilitarianisme, manfaat harus ditafsirkan secara luas dalam kerangka kesejahteraan, kebahagiaan, keamanan sebanyak mungkin pihhak terkait yang berkepentingan.
Ketiga¸bagi bisnis yang baik, hal yang juga mendapat perhatian dalam analisis keuntungan dan kerugian adalah keuntungan dan kerugian dalam jangka panjang. Ini penting karena bias saja dalam jangka pendek sebuah kebijaksanaan dan tindakan bisnis tertentu sangat menguntungkan, tapi ternyata dalam jangka panjang merugikan atau paling kurang tidak memungkinkan perusahaan itu bertahan lama. Karena itu, benefits yang menjadi sasaran utama semua perusahaan adalah long term net benefits.
Sehubungan dengan ketiga hal tersebut, langkah konkret yang perlu dilakukan dalam membuat sebuah kebijaksanaan bisnis adalah mengumpulkan dan mempertimbangkan alternative kebijaksanaan bisnis sebanyak-banyaknya. Semua alternative kebijaksanaan dan kegiatan itu terutama dipertimbangkan dan dinilai dalam kaitan dengan manfaat bagi kelompok-kelompok terkait yang berkepentingan atau paling kurang, alternatif yang tidak merugikan kepentingan semua kelompok terkait yang berkepentingan. Kedua, semua alternative pilihan itu perlu dinilai berdasarkan keuntungan yang akan dihasilkannya dalam kerangka luas menyangkut aspek-aspek moral. Ketiga, neraca keuntungan dibandingkan dengan kerugian, dalam aspek itu, perlu dipertimbagkan dalam kerangka jangka panjang. Kalau ini bias dilakukan, pada akhirnya ada kemungkinan besar sekali bahwa kebijaksanaan atau kegiatan yang dilakukan suatu perusahaan tidak hanya menguntungkan secara financial, melainkan juga baik dan etis.
5.      Kelemahan Etika Utilitarianisme
·         Manfaat merupakan konsep yang begitu luas sehingga dalam kenyataan praktis akan menimbulkan kesulitan yamg tidak sedikit.
·         Tidak pernah menganggap serius nilai suatu tindakan pada dirinya sendiri dan hanya memperhatikan nilai suatu tindakan sejauh berkaitan dengan akibatnya.
·         Tidak pernah menganggap serius kemauan baik seseorang
·         Variabel yang dinilai tidak semuanya dapat dikualifikasi.
·         Seandainya ketiga kriteria dari etika utilitarisme saling bertentangan, maka akan ada kesulitan dalam menentukan prioritas di antara ketiganya.
6.      Jalan Keluar
Tanpa ingin memasuki secara lebih mendalam persoalan ini, ada baiknya kita secara khusus mencari  beberapa jalan keluar yang mungkin berguna bagi bisnis dalam menggunakan etika utilitarianisme yang memang punya daya tarik istimewa ini. Yang perlu diakui adalah bahwa tidak mungkin mungkin kita memuaskan semua pihak secara sama dengan tingkat manfaat yang sama isi dan bobotnya. Hanya saja, yang  pertama-tama harus dipegang adalah bahwa kepentingan dan hak semua orang harus diperhatikan, dihormati, dan diperhitungkan secara sama. Namun, karena kenyataan bahwa kita tidak bisa memuaskan semua pihak secara sama dengan tingkat manfaat yang sama isi dan bobotnya, dalam situasi tertentu kita memang terpaksa harus memilih di antara alternative yang tidak sempurna itu. Dalam hal ini, etika utilitarianisme telah menberi kita criteria paling objektif dan rasional untuk memilih diantara berbagai alternative yang kita hadapi, kendati mungkin bukan paling sempurna.
Karena itu, dalam situasi di mana kita terpaksa mengambil kebijaksanaan dan tindakan berdasarkan etika utilitarianisme, yang mengandung beberapa kesulitan dan kelemahhan tersebut di atas, beberapa hal ini kiranya perlu diperhatikan.
  • Dalam banyak hal kita perlu menggunakan perasaan atau intuisi moral kita untuk mempertimbangkan secara jujur apakah tindakan yang kita ambil itu, yang memenuhi criteria etika utilitarianisme diatas, memang manusiawi atau tidak.
  • Dalam kasus konkret di mana kebijaksanaan atau tindakan bisnis tertentu yang dalam jangka panjang tidak hanya menguntungkan perusahaan tetapi juga banyak pihak terkait, termasuk secara moral, tetapi ternyata ada pihak tertentu yang terpaksa dikorbankan atau dirugikan secara tak terelakkan, kiranya pendekatan dan komunikasi pribadi akan merupakan sebuah langkah yang punya nilai moral tersendiri.

SUMBER :



Jumat, 07 November 2014

SOFTKILL ETIKA BISNIS



Nama   : Chandra
Kelas   : 4ea 25
NPM   : 11211609

TUGAS MINGGU 2
KELOMPOK 1
CONTOH KASUS NORMA UMUM
Contoh 1;

1)    KAI absen, Mediasi Gagal

Keinginan DPRD Kota Malang untuk memediasi kasus sengketa lahan PT. Kereta Api Indonesia (KAI) dengan warga korban pengusuran di sekitar Stasiun Kota lama masih mentok. Akibat perwakilan PT. KAI tidak datang pada pertemuan antara DPRD Kota Malang, kepolisian, Badan Pertanahan (BPN), Dinas Pengairan, Satpol PP, dan perwakilan warga, yang akhirnya masih tidak menghasilkan keputusan, Selasa (21/1). Ketua Komisi A DPRD Kota Malang, Arief Wahyudi mengungkapkan, kecewa dengan ketidakhadiran wakil dari PT. KAI sehingga membuat pertemua ini gagal memberikan hasil. Dari kenyataan ini DPRD Kota Malang akan menjadwalkan lagi pertemuan dengan PT. KAI agar permasalahan dengan warga segera bisa diselesaikan. “Tidak masalah undangan yang pertama ini gagal, tetapi jika nanti kami undang lagi PT. KAI tidak datang. Mari sama-sama demo ke PT. KAI di Surabaya,” jelas Arief, Selasa (21/1). Arief menjelaskan, dengan kehadiran PT. KAI dan pihak-pihak terkait diharapkan semuanya menjadi gamblang sebelum eksekusi lagi dan berlanjut ke proses peradilan. Ketua komisi A DPRD Kota Malang ini berharap semua pihak bisa menghormati mekanisme dan hukum yang berlaku. Dia tak ingin proses eksekusi dilakukan semena-mena. Artinya, jika memang tanah itu milik PT. KAI, seharusnya penggusuran dilakukan dengan mempertimbangkan norma-norma kemanusiaan. Namun, kalau ternyata bukan tanah PT KAI, tentu saja mereka harus siap dituntut karena sudah melakukan eksekusi liar. Kuasa hukum warga, Gunadi Handoko, menyayangkan ketidakhadiran perwakilan dari PT. KAI agar semuanya bisa gamblang. Selama ini, status tanahnya belum jelas milik PT. KAI, seharusnya dibuktikan dahulu melalui lembaga peradilan tidak langsung main gusur. “Penggusuran yang dilakukan sewenang-wenang tanpa ada bukti yang jelas adalah perbuatan melawan hukum, karena itu kami akan melakukan gugatan atas perbuatan melawan hukum,” tegas Gunadi. Dalam kenyataan ini Gunadi juga menyayangkan tindakan aparat keamanan yang mengamankan proses penggusuran, tindakan itu bukan tindakan menjaga keamanan dilokasi. Tindakan itu lebih mirip upaya melegalkan perbuatan melawan hukum dan ada unsur pembiaran yang bisa dikenai pasal pidana. (Cah/Ode)

RESUMENYA :
Menurut saya seharusnya PT. KAI seharusnya menunjukan etikat baiknya dengan menghadiri acara yang di selengarakan oleh DPRD Malang yang ingin memediasi dan PT.KAI tidak semenah-menah langsung mengesekusi warga tanpa adanya bukti.
Sumber: http://www.malangkota.go.id/baca/berita/detail/220120147277#ixzz3IR1YsWiZ

Contoh 2:
PT Freeport Inonesia, Bukan Sekedar Masalah Renegosiasi Tapi Menegakkan Kedaulatan RI
Sudah 44 tahun aktivitas pertambangan emas PT Freeport-McMoran Indonesia (Freeport) bercokol di tanah Papua. Namun selama itu pula kedaulatan negara ini terus diinjak-injak oleh perusahan asing tersebut. Pada Kontrak Karya (KK) pertama pertambangan antara pemerintah Indonesia dan Freeport yang dilakukan tahun 1967 memang posisi tawar pemerintah RI masih kecil, yaitu hanya sekedar pemilik lahan. Dibandingkan PT Freeport yang memiliki tenaga kerja dan modal tentu posisi tawar pemerintah saat itu masih kecil. Namun setelah 44 tahun apakah posisi tawar pemerintah Indonesia masih rendah? Tentu tidak!
Mengacu pada UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara yang mengamanatkan pemerintah Indonesia untuk melakukuan renegosiasi kontrak seluruh perusahaan tambang asing yang ada di negeri ini. UU ini menggantikan UU Nomor 11 tahun 1967 yang disahkan pada Desember 1967 atau delapan bulan pasca penandatanganan KK. Berdasarkan data Kementrian ESDM, sebanyak 65 persen perusahaan tambang sudah berprinsip setuju membahas ulang kontrak yang sudah diteken. Akan tetapi sebanyak 35 persen dari total perusahaan tersebut masih dalam tahap renegosiasi, salah satunya adalah pengelola tambang emas terbesar di dunia yaitu Freeport.
Menurut Direktur dan CEO Freeport Indonesia, Armando Mahler, menyatakan bahwa kontrak pertambangan yang dimiliki perusahaan dengan pemerintah Indoneisa sudah cukup adil bagi semua pihak. Hal ini mengindikasikan bahwa pihak Freeport enggan untuk patuh kepada UU yang berlaku, yaitu UU no. 4 tahun 2009 tentang Minerba. Dari sini terlihat bahwa kasus Freeport ini tidak hanya merugikan negara triliunan rupiah akan tetapi juga menginjak-injak kedaulatan Republik ini dengan tidak mau patuh terhadap UU yang berlaku. Menurut seorang pengamat Hankam, Bapak Soeripto, Konflik yang mendasasari kasus Freeport ini adalah Kontrak Karya (KK) yang telah melecehkan Indonesia.
Salah seorang pengamat Hankam yang sudah senior, Bapak Soeripto, menyatakan bahwa PT Freeport telah memberikan sejumlah dana kepada aparat keamanan TNI/POLRI dalam rangka menjaga keamanan Freeport di atas tanah Papua. Hal ini jelas menentang UU karena menurut UU pembiayaan aparat keamanan untuk perlidungan objek vital nasional harus bersumber dari APBN bukan dari perusahaan asing. Akibatnya banyak putra daerah Papua yang merasa asing di rumah mereka sendiri. Dari sini terkesan bahwa aparat keamanan justru lebih membela kepentingan asing daripada kepentingan bangsanya sendiri. Padahal mereka  harusnya menindak Freeport yang notabene telah merusak lingkungan dengan membuat lubang tambang di Grasberg dengan diameter lubang 2,4 kilometer pada daerah seluas 499 ha dengan kedalaman mencapai 800 m2 . Dampak lingkungan yang Freeport berikan sangat signifikan, yaitu rusaknya bentang alam pegunngan Grasberg dan Ersbeg. Kerusakan lingkungan telah mengubah bentang alam seluas 166 km2 di daerah aliran sungai Ajkwa.
PT Freeport McMoran Indonensia pun telah berlaku semena-mena kepada karyawan Freeport Indonesia yang kebanyakan adalah orang asli Indonesia. Menurut pengakuan Bapak Tri Puspita selaku Sekretaris Hubungan Industri Serikat Pekerja Freeport Indonesia, Freeport bersifat eksklusif sehingga akses untuk ke rumah sakit ataupun mess pun juga sulit. Lebih jauh lagi, standart yang dimiliki pekerja Freeport dari Indonesia sama dengan seluruh karyawan Freeport yang ada di seluruh dunia akan tetapi gaji yang diterima oleh pekerja dari Indonesia hanya separuhnya. Menariknya lagi, menurut laporan dari Investor Daily tanggal 10 Agustus 2009, dikatakan bahwa pendapatan utama PT Freeport McMoran adalah dari operasi tambabangnya yang ada di Indonesia, yaitu sekitar 60%. Sampai saat ini karyawan Freeport tengah menjalankan aksi mogok kerja dengan menuntut kenaikan gaji US$ 4 per jam. Sampai sekarang pihak management Freeport tidak menyetujui tuntutan pekerja Indonesia tersebut. Bukan keadilan yang didapatkan pekerja Freeport dari Indonesia yang menuntut kenaikan gaji akan tetapi tudingan sebagai kelompok separatis lah yang mereka dapat. Padahal mereka hanya menuntut hak-haknya sebagai warga negara untuk memperoleh kesejahteraan.
Menurut seorang pakar ekonomi dari Universitas Padjajaran sekaligus aktivis LSM Econit, Ibu Hendri, setidaknya ada tiga alasan mengapa solusi Freeport ini bukan sekedar negosiasi. Pertama, Yaitu meluruskan aturan perundang-undangan yang menyimpangkan amanah konstitusi (Pasal 33 UUD 1945). Kedua, Renegoisasi atau perubahan Kontrak Karya (KK) yang tidak memakai dasar konstitusi tidak akan memberikan manfaat bagi kepentingan rakyat Indonesia. Dan yang terakhir, rakyat Papua secara khusus dan bangsa Indonesia secara umum membutuhkan dana yang besar untuk mengerjar ketertinggalan dalam membangun manusia maupun fasilitas yang diperlukan untuk mendukung pelayanan sosial dan kemajuan ekonomi.
Indonesia sebagai bangsa yang besar, harusnya tidak hanya mengejar keuntungan finansial seperti pajak, deviden ataupun pembagian royalti dari sektor pertambangan akan tetapi juga harus fokus pada keuntungan ekonomi, ungkap Ibu Hendri. Pemerintah harus mempunyai visi besar dalam mengelola SDA yang dimiliki. Dalam hal ini, pemerintah harus mempunyai koridor kebijakan yang jelas mengenai bagaimana pemanfaatan segala sumber daya alam yang dimiliki untuk kemajuan ekonomi bangsa Indonesia. Sebagai contohnya, pemerintah China tidak serta merta segera mengekspor kandungan batu bara yang dimiliki secara besar-besaram ke pasar dunia akan tetapi China menahan produk batu baranya dalam negeri untuk kepentingan dalam negeri sendiri tersebut untuk mendorong kemajuan ekonomi negeri tersebut, dalam hal ini sumber energi.
Pak Soeripto yang juga selaku mantan anggota Badan Intelejen Negara (BIN) mengemukakan analisis yang menarik, menurut beliau, pasca Perang Dingin, selayaknya bangsa Indonesia sadar bahwa trend perang dalam masa sekarang adalah perang untuk memperebukan sumber daya alam atau resource war. Sekarang negara-negara besar sedag berperang untuk merebutkan sumber daya alam. Dan ini suah terjadi di berbagai negara seperti Iraq, Afganistan, Kongo, Libya, dll. Urusan perebutan masalah sumber daya alam ini sejatinya tidak memperdulikan berapa korban jiwa yang jatuh. Begitu juga masalah Freeport, kita tahu sendiri akhir-akhir ini masih sering terjadi aksi penembakan di Papua yang menelan korban baik kalangan aparat keamanan ataupun putra daerah Papua sendiri.
Sudah selayaknya kita memandang kasus Freeport ini selain dengan pemahaman yang mendalam juga dengan kacamata perspektif yang berbeda. Sehingga kita dapat melihat masalah ini secara komprehensif. Harus kita ingat bahwa masalah ini bukan sekedar penandatangan kontrak  kerja baru, hitam di atas putih. Melainkan masalah yang lebih krusial lagi, yaitu penegakkan kedaulatan Republik Indonesia.
Danang Sugiarto (16311017) – FITB 2011

RESUMENYA :
Seharusnya pemerintah harus tegas terhadap freeport dan freeport harus memenuhi hak-hak para pekerjanya.